Sabtu, 23 Februari 2013

Bisanya ngritik doang. kamu sendiri belum tentu mampu



Liburan adalah hal yang paling menyenangkan yang ditunggu oleh orang orang yang tidak mencintai pekerjaannya. Itu sih kata para pujangga. Dan mungkin saya termasuk di dalamnya. Saya sama sekali tidak mencintai pekerjaan saya sebagai seorang mahasiswa. Oleh karna itu saya berusaha agar bisa lulus secepatnya dan keluar dari “pekerjaan” sebagai seorang mahasiswa dan berpindah ke pekerjaan yang saya cintai sebagai  seorang pekerja film profesional. 

Ngomong ngomong soal pekerjaan, kalian pasti pernah kan mendapatkan saran dan kritik dari seseorang yang melihat hasil kerjamu. Atau mungkin justru memberikan kritik atas hasil kinerja dari orang lain. Entah kritikan itu berasa angin surga ataupun berasa kayak luka sayatan yang ditetesin air jeruk nipis. Dan bukan gak mungkin kamu atau orang yang kamu kritik tadi menjawab “halah ngritik doang bisanya. Kamu sendiri belum tentu bisa”  atau “yaelah ngritik doang bisanya. Kasi solusi kaliii...” sebel? Ya. Saya juga sih. Itu ibarat kayak orang yang  ketangkep karena ketauan korupsi trus ketika direkam kamera televisi dia malah dadah-dadah lucu tanpa ada rasa penyesalan dan bersalah. 

Bayangkan misalnya kamu sedang mengkritik orang yang melakukan perbuatan tidak benar. Trus dia membalas dengan berkata “halah kayak kamu orang paling bener aja. Benerin diri dulu sendiri. Baru ngurusin orang” kalo kayak gitu ceritanya sih ya berarti untuk bisa menasihati orang lain, kita harus sesuci nabi. Dan karna gak ada yang sesuci nabi, artinya tidak ada satu orangpun yang berhak untuk menasihati dan mengkritik. Maaf kalau logika saya salah

Kebetulan saya menemukan buku yang sangat bagus sekali. Yaa gak nemu plek tau tau muncul di depan muka. ya maksudnya beli di toko buku. tapi gak penting lah ya. soal nemu menemu ini. kita kembali ke benang merah. Judul bukunya adalah Republik #Jancukers karya seorang seniman yang mungkin kita semua sudah pada tau. Sudjiwo Tedjo. Dalam salah satu halamannya ternyata sedang membahas tentang masalah kritik. Ingat. Kritikan. Bukan hinaan, cacian, ataupun ejekan. Ini dia cuplikannya. 

...”ah, jangan Cuma bisa mengritik pemerintah. Sampeyan sendiri belum tentu lebih baik kalau memerintah,”  begitu biasanya serangan balik terhadap tukang kritik. Saya termasuk yang kurang hepi terhadap serangan model  begitu.  Menyerang suatu kritik karena kritik tersebut dinilai tidak proporsional, sangat baik. Menyerang suatu kritik karena kritik tersebut dianggap tidak fair, sangat baik. Tapi menyerang suatu kritik dengan mendamprat bahwa pengritiknya belum tentu lebih baik dari yang dikritiknya? Wah ini sudah masalah logika, artinya sudah masalah kebudayaan, bukan sekadar masalah hukum, politik, dan ekonomi. Dan ini berarti sudah sangat serius

Percuma orang tahu dan dan mengalami  sendiri bahwa kue serabi dan becak adalah dua hal yang  berbeda, kalau ternyata mereka masih belum tahu bahwa kritikus dan praktisi juga berbeda. Lho, kan kalau bisa jadi presiden, ngapain jadi kritikus atau pengamat atau analis presiden. Duit presiden jauh lebih banyak. Ke mana-mana gratis. Dokter pun gratis. Jadi pengamat presiden? Kere. Pengamat pasar modal yang bagus juga belum tentu becus menjadi pelaku pasar modal.
Kehidupan itu berbidang-bidang. Ada kritikus, ada praktisi. Sawah saja ada bidang-bidangnya. Masa’ kehidupan tak boleh berpetak-petak. Pernah suatu sore saya senyum-senyum sendiri mendengarkan wawancara radio Mas Sarwono Kusumaatmadja yang baru sehari sebelumnya lengser dari jabatan menteri. Penyiar meminta Sarwono berkomentar soal government. Sarwono ketawa, namun serius. Katanya, “Yang bener saja, masa’ baru sehari selesai jadi menteri sekarang Anda suruh saya jadi pengamat.” Setuju. Ikan yang sudah bertahun-tahun tinggal di dalam akuarium sampai-sampai tak menyadari keberadaan air dan akuarium, jangan sampai begitu keluar langsung disuruh menjadi pengamat air dan akuarium

Ronny Pattinasarani juga tak ujug-ujug menjadi pengamat bola seusai menjadi kapten kesebelasan PSSI. Perlu proses. Karena ilmu pengamat dan ilmu pelaku memang berbeda. Coba ingat HB Jassin, Jim supangkat, dan Sultan Takdir Alisjahbana dan lain lain. Mereka terkenal karena kritiknya terhadap dunia kesenian. Karya seni mereka sendiri malah jarang kita kenali.

Apakah kritik harus memberi solusi?

Ya kalau sudah tahu solusinya mending kritikus itu menjadi pelaku. Duitnya lebih banyak. Begini lho: Biarkan para pelaku sendiri yang mengambil ide-ide dari suatu kritik menjadi solusi, yang mengubah analisis menjadi desain. Hmmmm...menurut saya di antara kita ini sudah terlalu banyak orang yang tahu bahwa Borobudur dan eiffel itu berbeda dan berjauhan. Tapi masih terlalu sedikit yang berkenan tahu bahwa kritikus dan praktisi juga dua hal yang jauh berbeda...

Mungkin isinya agak-agak berat ya. Tapi tenang, gak seberat cintaku kepadamu kok~ #eh

Mudahan ada manfaat yang bisa kalian ambil. Minimal paling enggak bisa membantu kalian yang dari tadi gak bisa tidur biar cepet pusing dan akhirnya gampang tidur. Sekali lagi, ini masalah kritik. Bukan hinaan, cercaan, cacian, atau makian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan dikomentari disini.... pilih openID dan masukin alamat situs kamu atau alamat jejaring sosialmu. pilih Name/URL kalau kamu mau nyantumin nama atau home page, atau dua duanya. pilih "anonymous" kalau kamu gak pengen dikenal.