Liburan adalah hal yang paling menyenangkan yang ditunggu
oleh orang orang yang tidak mencintai pekerjaannya. Itu sih kata para pujangga.
Dan mungkin saya termasuk di dalamnya. Saya sama sekali tidak mencintai
pekerjaan saya sebagai seorang mahasiswa. Oleh karna itu saya berusaha agar
bisa lulus secepatnya dan keluar dari “pekerjaan” sebagai seorang mahasiswa dan
berpindah ke pekerjaan yang saya cintai sebagai
seorang pekerja film profesional.
Ngomong ngomong soal pekerjaan, kalian pasti pernah kan
mendapatkan saran dan kritik dari seseorang yang melihat hasil kerjamu. Atau mungkin
justru memberikan kritik atas hasil kinerja dari orang lain. Entah kritikan itu
berasa angin surga ataupun berasa kayak luka sayatan yang ditetesin air jeruk
nipis. Dan bukan gak mungkin kamu atau orang yang kamu kritik tadi menjawab “halah
ngritik doang bisanya. Kamu sendiri belum tentu bisa” atau “yaelah ngritik doang bisanya. Kasi solusi
kaliii...” sebel? Ya. Saya juga sih. Itu ibarat kayak orang yang ketangkep karena ketauan korupsi trus ketika
direkam kamera televisi dia malah dadah-dadah lucu tanpa ada rasa penyesalan
dan bersalah.
Bayangkan misalnya kamu sedang mengkritik orang yang melakukan
perbuatan tidak benar. Trus dia membalas dengan berkata “halah kayak kamu orang
paling bener aja. Benerin diri dulu sendiri. Baru ngurusin orang” kalo kayak
gitu ceritanya sih ya berarti untuk bisa menasihati orang lain, kita harus
sesuci nabi. Dan karna gak ada yang sesuci nabi, artinya tidak ada satu
orangpun yang berhak untuk menasihati dan mengkritik. Maaf kalau logika saya
salah
Kebetulan saya menemukan buku yang sangat bagus sekali. Yaa gak nemu plek tau tau muncul di depan muka. ya maksudnya beli di toko buku. tapi gak penting lah ya. soal nemu menemu ini. kita kembali ke benang merah. Judul bukunya adalah
Republik #Jancukers karya seorang seniman yang mungkin kita semua sudah pada
tau. Sudjiwo Tedjo. Dalam salah satu halamannya ternyata sedang membahas
tentang masalah kritik. Ingat. Kritikan. Bukan hinaan, cacian, ataupun ejekan. Ini
dia cuplikannya.
...”ah, jangan Cuma bisa
mengritik pemerintah. Sampeyan sendiri belum tentu lebih baik kalau memerintah,” begitu biasanya serangan balik terhadap
tukang kritik. Saya termasuk yang kurang hepi terhadap serangan model begitu. Menyerang suatu kritik karena kritik tersebut
dinilai tidak proporsional, sangat baik. Menyerang suatu kritik karena kritik
tersebut dianggap tidak fair, sangat baik. Tapi menyerang suatu kritik dengan
mendamprat bahwa pengritiknya belum tentu lebih baik dari yang dikritiknya? Wah
ini sudah masalah logika, artinya sudah masalah kebudayaan, bukan sekadar
masalah hukum, politik, dan ekonomi. Dan ini berarti sudah sangat serius
Percuma orang tahu
dan dan mengalami sendiri bahwa kue
serabi dan becak adalah dua hal yang
berbeda, kalau ternyata mereka masih belum tahu bahwa kritikus dan
praktisi juga berbeda. Lho, kan kalau bisa jadi presiden, ngapain jadi kritikus
atau pengamat atau analis presiden. Duit presiden jauh lebih banyak. Ke mana-mana
gratis. Dokter pun gratis. Jadi pengamat presiden? Kere. Pengamat pasar modal
yang bagus juga belum tentu becus menjadi pelaku pasar modal.
Kehidupan itu
berbidang-bidang. Ada kritikus, ada praktisi. Sawah saja ada bidang-bidangnya. Masa’
kehidupan tak boleh berpetak-petak. Pernah suatu sore saya senyum-senyum
sendiri mendengarkan wawancara radio Mas Sarwono Kusumaatmadja yang baru sehari
sebelumnya lengser dari jabatan menteri. Penyiar meminta Sarwono berkomentar
soal government. Sarwono ketawa,
namun serius. Katanya, “Yang bener saja, masa’ baru sehari selesai jadi menteri
sekarang Anda suruh saya jadi pengamat.” Setuju. Ikan yang sudah bertahun-tahun
tinggal di dalam akuarium sampai-sampai tak menyadari keberadaan air dan
akuarium, jangan sampai begitu keluar langsung disuruh menjadi pengamat air dan
akuarium
Ronny Pattinasarani
juga tak ujug-ujug menjadi pengamat bola seusai menjadi kapten kesebelasan
PSSI. Perlu proses. Karena ilmu pengamat dan ilmu pelaku memang berbeda. Coba ingat
HB Jassin, Jim supangkat, dan Sultan Takdir Alisjahbana dan lain lain. Mereka terkenal
karena kritiknya terhadap dunia kesenian. Karya seni mereka sendiri malah
jarang kita kenali.
Apakah kritik harus
memberi solusi?
Ya kalau sudah tahu
solusinya mending kritikus itu menjadi pelaku. Duitnya lebih banyak. Begini lho:
Biarkan para pelaku sendiri yang mengambil ide-ide dari suatu kritik menjadi
solusi, yang mengubah analisis menjadi desain. Hmmmm...menurut saya di antara
kita ini sudah terlalu banyak orang yang tahu bahwa Borobudur dan eiffel itu
berbeda dan berjauhan. Tapi masih terlalu sedikit yang berkenan tahu bahwa
kritikus dan praktisi juga dua hal yang jauh berbeda...
Mungkin isinya agak-agak berat ya. Tapi tenang, gak seberat
cintaku kepadamu kok~ #eh
Mudahan ada manfaat yang bisa kalian ambil. Minimal paling
enggak bisa membantu kalian yang dari tadi gak bisa tidur biar cepet pusing dan
akhirnya gampang tidur. Sekali lagi, ini masalah kritik. Bukan hinaan, cercaan,
cacian, atau makian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan dikomentari disini.... pilih openID dan masukin alamat situs kamu atau alamat jejaring sosialmu. pilih Name/URL kalau kamu mau nyantumin nama atau home page, atau dua duanya. pilih "anonymous" kalau kamu gak pengen dikenal.